Topeng Malangan

Topeng Malangan

Tempat Lahirnya Topeng Malangan

Dengan asal usul tari topeng Malangan yang begitu panjang, tidak bisa dipastikan kapan tepatnya kesenian itu muncul di kawasan Malang.

Namun, sejumlah desa di Malang sudah lama terkenal sebagai daerah kelahiran tari topeng Malang.

Salah satunya adalah dusun Kedungmonggo. Berdasarkan informasi dari situs resmi Kemendikbud, dusun ini sudah terkenal sebagai dusun penghasil topeng Malang sejak zaman Belanda.

Selain itu, tari topeng Malang pun sudah eksis di tahun 1890-an, saat Malang berada di bawah pimpinan bupati bernama Raden Sjarief yang bergelar Adipati Suryo Adiningrat.

Dengan begitu, Kedungmonggo pun termasuk daerah pertumbuhan tari topeng Malangan yang terbilang tua dan kuno di Kabupaten Malang.

Di tempat ini juga terdapat sanggar seni Asmorobangun yang didirikan seorang maestro topeng Malangan, Mbah Karimun, yang kini sudah mencapai generasi kelima.

Selain Kedungmonggo, ada juga dusun Tumpang, Tulus Besar, dan Glagahdowo yang juga tersohor sebagai daerah kelahiran tari topeng Malangan.

Panji Asmoro Bangun

Foto: Panji Asmoro Bangun (Id.museum-digital.org)

Panji Asmoro Bangun adalah tokoh protagonis dalam cerita, yang memainkan peran sentral untuk mengatur perkembangan konflik dalam narasi.

Panji Asmoro Bangun ini biasanya diceritakan sebagai pangeran yang gagah berani, romantis, dan memiliki banyak petualangan demi mencari cinta sejatinya, Dewi Sekartaji.

Wajahnya dihiasi dengan warna hijau sebagai cerminan karakternya yang baik hati.

Sifat-sifat jujur, sabar, gesit, dan kepahlawanan tercermin dari matanya yang berbentuk bulir padi.

Bibirnya yang sedikit terbuka menggambarkan sifat lembut dan budi luhurnya.

Titik emas yang terletak di antara alisnya menjadi tanda bahwa ia merupakan keturunan dewa.

Alisnya berbentuk nanggal sepisan, hidungnya mancung, dan bahkan terdapat kumis, menambahkan keanggunan dan keperkasaan pada penampilannya.

Foto: Dewi Sekartaji (Seni.id)

Dewi Sekartaji digambarkan sebagai seorang putri yang cantik jelita dari kerajaan Daha (Kediri).

Dalam beberapa versi cerita, ia terpisah dari kekasihnya, Panji, karena berbagai konflik atau kesalahpahaman.

Kisah mereka berisi petualangan, penyamaran, serta rintangan demi rintangan yang harus mereka hadapi sebelum akhirnya bersatu kembali.

Sama seperti Raden Panji Asmoro Bangun, topeng malangan Dewi Sekartaji memiliki ciri-ciri wajah yang khas.

Alisnya berbentuk nanggal sepisan, hidungnya mancung, dan terdapat titik emas di antara alisnya.

Wajahnya yang berwarna putih melambangkan kemurnian, kelembutan, dan kebaikan hatinya.

Baca Juga: 8 Ragam Pakaian Adat Riau dan Keunikannya, Elegan dan Bersahaja

Foto: Topeng Malangan Gunungsari (tjokrosuharto.com)

Topeng Gunungsari diidentifikasikan dengan mata sipit, hidung mancung kebawah, bibir tipis dan berwarna putih.

Mengutip web Kemdikbud, karakter Gunungsari ini rendah hati, lembut dan agak feminim.

Gerakan tariannya juga anggun dan mencerminkan karakteristik sosok wanita idaman pada masa itu.

Dalam beberapa pertunjukan, karakter ini mungkin diperankan sebagai seorang putri atau wanita bangsawan.

Foto: Dewi Ragil Kuning (Lazada.co.id)

Dewi Ragil Kuning adalah putri dari Prabu Tapa Agung, raja dari Kerajaan Daha Kediri, dan ia merupakan adik dari Dewi Sekartaji.

Ragil Kuning dikenal sebagai putri yang cantik jelita dan memiliki sifat yang lembut, baik hati, tegas, dan pemberani.

Topeng malangan Dewi Ragil Kuning, memiliki mata sipit, hidung mancung, gigi tidak tampak, dan berwarna kuning.

Klana Sewandana digambarkan sebagai raja yang gagah, perkasa, namun memiliki sifat kasar dan sering...

Asal Usul Tari Topeng Malangan

Meski tidak banyak referensi dan catatan yang pasti, asal usul tari topeng Malangan tetap menjadi salah satu hal yang menarik dibahas.

Asal usul tari topeng Malangan tidak lepas dari sejarah topeng itu sendiri.

Dilansir dari situs resmi Kemdikbud, salah satu catatan sejarah menyebutkan bahwa topeng sudah dikenal sejak zaman Raja Gajayana (berkuasa sekitar tahun 760-789) dari Kerajaan Kanjuruhan.

Di masa itu, topeng pertama terbuat dari bahan emas dan dikenal dengan istilah “Puspo Sariro” yang artinya ‘bunga dari hati paling dalam’.

Topeng di masa itu termasuk dalam bagian tradisi kultural dan religius. Raja Gajayana menggunakannya sebagai simbol pemujaan terhadap sang ayah yang bernama Dewa Singha.

Oleh karena itu, tidak sedikit yang berpendapat bahwa asal usul tari topeng Malangan erat kaitannya dengan masa kejayaan Raja Gajayana.

Tarian tersebut pun diyakini sudah sering dibawakan di masa kerajaan tersebut.

Namun, sumber lain menyebutkan bahwa tari topeng Malangan diciptakan oleh raja pertama Kerajaan Panjalu (Kediri) bernama Airlangga yang menjabat pada 1019-1042.

Dikutip dari artikel jurnal “Tari Topeng Malangan sebagai Alternatif Wisata Budaya di Kota Malang” oleh Melany, penyebaran seni topeng kemudian terus berkembang hingga Kerajaan Singosari, yang didirikan oleh Ken Arok pada 1222 M.

Di masa itu, Raja Singosari menggunakan tari topeng Malangan untuk upacara adat, dengan mengusung setting drama tari dari kisah Ramayana, Mahabharata, dan Panji.

Selain itu, tari topeng juga menjadi sarana penyambutan dan penghormatan tamu dalam acara-acara resmi pemerintah.

Karakter Masing-Masing Topeng Malangan

Seni yang berkembang sejak jaman Hindu-Buddha ini, memiliki sekitar 76 karakter tokoh, lho Moms.

Dari ke-76 karakter tokoh itu, terdapat tujuh karakter yang paling menonjol yaitu:

Kanjuruhan Hingga Majapahit

Berdasarkan informasi dari buku Maestro Seni Tradisi (2008), topeng di masa Kerajaan Kanjuruhan berfungsi sebagai sarana untuk ritual.

Memasuki masa Kerajaan Kediri, topeng tidak lagi terbuat dari emas, tetapi dari kayu, dan berfungsi sebagai properti tarian agar penari tidak perlu menggunakan riasan.

Tari topeng ini digunakan untuk menyambut tamu dengan cerita Ramayana atau Mahabarata.

Penggunaan Ramayana dan Mahabarata ini kemungkinan berkaitan dengan asimilasi budaya India dan Jawa di masa lalu.

Selanjutnya, di masa Kerajaan Singosari, fungsi topeng masih sama. Namun, dari segi cerita, ada tambahan penggunaan cerita Panji dan hal ini berlangsung hingga Kerajaan Majapahit.

Cerita Panji sendiri mengacu pada kumpulan cerita dari periode Jawa klasik, yaitu di masa Kerajaan Kediri (1042-1222).

Isi ceritanya berkaitan dengan kepahlawanan dan kisah cinta antara dua sejoli: Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana).

Lalu, setelah masuknya Islam ke Tanah Jawa, para Wali Songo, khususnya Sunan Bonang dan Kalijaga, menjadikan topeng sebagai sarana penyebaran ajaran Islam.

Sepeninggal para Sunan, keberadaan tari topeng seolah tenggelam. Namun, kesenian ini kembali bangkit di tangan Surya Atmojo, abdi dalem Keraton Majapahit yang mengungsi ke daerah Malang.

Saat itu, ia membawa serta topeng serta keterampilan menarinya. Ia lalu mengabdi pada bupati pertama Kabupaten Malang sebagai Mantri Agung/Asisten Bupati.

Sang Bupati rupanya tertarik dengan keahlian tari topeng Surya Atmojo, hingga akhirnya menetapkan kesenian tersebut sebagai tarian khas Malang.

Tari topeng Malangan pun tidak lagi digunakan untuk sarana penyebaran Islam, tetapi menjadi sarana hiburan yang mengangkat cerita Panji.

Baca Juga: Mau Liburan ke Malang? Jangan Lewatkan Tujuan Hits Lembah Indah Malang!

Pewarisan Topeng Malangan

Foto: Topeng Malangan (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Karimoen atau Mbah Mun adalah maestro topeng Malang yang dihormati karena dedikasinya dalam melestarikan kesenian topeng Malang melalui Sanggar Asmorobangun di Dusun Kedungmonggo.

Setelah beliau wafat, ketokohannya diteruskan oleh Suroso dan Tri Handoyo.

Topeng Malang tidak hanya berfungsi sebagai sarana ritual tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan sosial, serta menjadi identitas masyarakat Kedungmonggo.

Sanggar ini tetap aktif, dengan pertunjukan rutin dan produksi topeng untuk berbagai keperluan, termasuk suvenir.

Malang-style masks as inspiration for batik

The eight characters of Topeng Malangan are depicted into batik motifs.

As I observed, the characters depicted on the masks add to the attractiveness of the batik Malangan motifs. Several notable characters that can be seen in the batik patterns include the Panji Asmorobangun figure with his slanted eyes and downward pointed nose, the Klono Dewandono figure with his round eyes and long nose, and the princess character with her oblique eyes, Dewi Sekartaji, pointed nose and white-painted face. Other characters are shown in the batik Malangan pattern, inspired by the wooden masks. Sometimes, these characters are combined with other Malang icons to create a more distinctive design.

One interesting fact about the batik Topeng Malangan is that some are produced by batik artisans with disabilities in Malang’s Klojen Regency. They are based at Tithiek Tenger Foundation, where the foundation advances people with disabilities into active communities with an entrepreneurial approach. With great detail and diligence, these batik artisans with disabilities hand-made the batik cloth, and their graceful flair in creating the designs somehow concealed their disabilities. Like average batik artisans, they follow the process of batik making, including designing the patterns, mencanting (hand-drawn way using canting, a traditional pen-like tool used to apply liquid hot wax on cloths), mencolet (dabbing the patterns with colors using a paintbrush), and submerging the finished batik cloths in boiling water to remove the wax. The batik artisans at the foundation with different types of disabilities, such as hearing impairment, speech disability, autism, and mental disability. Despite their shortcomings, the beautiful batik cloths they created are popular as souvenirs from Malang.

The local government and members of the academic profession continuously cultivate this batik technique. These include Janet Teowarang and her team at Universitas Ciputra Surabaya. Janet Teowarang, one of the Indonesian fashion designers and lecturers, initially introduced the batik process development technique to Malang’s batik artisans with disabilities, which later developed and refined the method. She introduced fashion sustainability practices, using natural dyes and improving batik Topeng Malangan’s patterns. For Janet, this community service program is managed in stages starting in February 2023; later, the program will be followed by another training focusing on using natural dyes and developing batik motif patterns from Topeng Malangan motifs, which is planned to be conducted in the mid-of year 2024.

Janet’s noble cause is to ensure gender equality between male and female batik artisans. She wishes to eliminate the notions that batik artisans have to be female, or that the enchanting process done by female artisans will yield better quality and more beautiful designs, and also that men can only do the process of submerging the cloths in boiling water because of the high heat involved. Janet also aims to promote disability inclusion in her program. Her two objectives, as mentioned above, are based on UNESCO’s Sustainable Development Goals (SDGs), which have been declared by the Indonesian government since 2019. All of these activities, in my opinion, align with the SDGs, including Gender Equality, Decent Work and Economic Growth, Reduced Inequalities, Sustainable Cities and Communities, Responsible Consumption and Production, and Partnerships for the Goals

First, the principles of Gender Equality, Decent Work and Economic Growth, and Reduced Inequalities are evident in this Cultural Centre; both male and female batik artisans with disabilities at this foundation have the same working opportunities.

The second principle is improving Economic Growth. Today the business has been proven to support the development of Malang’s creative industry. The betterment of this fashion industry has added to the overall regional income of the area. Including many modifiable workers in the center, the Reduced Inequalities point on the SDGs list can be ticked off.

The third is the points of Sustainable Cities and Communities, Responsible Consumption, and Production. These principles demand that materials for the batik cloths come from natural resources, which will not harm the environment because some factory-made artificial dyes can be detrimental to the natural world. We often see existing batik industries use synthetic dyes, meaning their waste products must be processed before disposal.

Finally, the Partnerships for the Goals point. Completing this training process means a long-term partnership to improve the quality of the fabrics produced by the artisans and the quality of life of the batik artisans with disabilities who partake in the industry.

Yet this noble effort should continue further. Instead of only introducing a sustainable process for batik artisans, there are other means that we can pursue so that these artists can find a fitting market for their products. Our next assignment would ensure that in the current globalization era and fast-changing world, local fashion scenes, including the batik Topeng Malangan, would find their place amongst today’s youth and could be enjoyed by the younger generation. As we know, young Indonesians are more commonly drawn to fashion trends influenced by foreign countries. If action is taken to preserve it, batik, one of the indigenous textiles in Indonesia, will be remembered and included in the advances of the modern fashion scene.

One of the ways that we, as the country’s younger generation, can do to ensure the continuation and preservation of batik as the cultural heritage of Indonesia is to advocate the use of batik in our daily lives. As a prominent part of Indonesia, young people shall start wearing batik for all occasions, including at school, at home, and in their leisure time, as an expression of national pride. In addition, the batik artisans with disabilities of Topeng Malangan should also be well-informed and up-to-date about the latest fashion trends to comply with the market demands. I believe when this is achieved, market demands are met and the batik-making process follows the correct sustainable means, we can hope that the heritage value of batik as a tangible asset, as well as its moral value as an intangible asset, can be well-preserved for many years to come.

The batik artisans with disabilities are at their workshop at Bareng Public Market in Malang, East Java, Indonesia.

About Astrid Kusumowidagdo

Astrid Kusumowidagdo the Dean of School of Creative Industry at Universitas Ciputra Surabaya, East Java, Indonesia. Astrid has research focus and writings on commercial design and behaviour, cultural and conservation heritage, lifestyle and creative industry.

Like the article? Make it a conversation by leaving a comment below.  If you believe in supporting a platform for culture-makers, consider becoming a subscriber.

Click image to view gallery

batik | disabilities | Indonesia | Janet Teowarang

Astrid Kusumowidagdo writes about innovative and socially aware Topeng Malangan batik production, guided by Janet Teowarang.

Indonesia is famously known as the producer of various batik textiles as one of its indigenous heritage products. Having lived in Indonesia all my life, I have a keen interest in batik. One of the Indonesian batik creations that has gained popularity among collectors today is batik Malang. Malang is located in East Java Province, a city that boasts a lot of creative industry riches, a mere 2-hour drive from Surabaya, the province’s capital city. Many businesses are based in the town, and some have gained quite a prominent growth, including the textile and batik industry. Batik cloths produced in Malang are aptly called batik Malangan. They are characterized by the patterns depicting Topeng Malang (Malang-style masks), Tugu Malang (the Statue of Malang), lions, and lotus flowers. The city of Malang can take pride in being the birthplace of this distinctive artwork, which later becomes the inspiration behind batik Malangan’s unique motifs.

Topeng Malangan adalah seni tradisional yang kaya akan sejarah dan budaya.

Seni ini menjadi salah satu warisan budaya dari Indonesia.

Seni topeng ini berasal dari Malang, Jawa Timur, yang sangat menarik perhatian para seniman karena keindahan tarian topengnya.

Menariknya, topeng ini dikenal karena warna-warninya yang menggambarkan karakter-karakter mitos dan legenda Jawa.

Topeng Malangan adalah perpaduan antara seni pertunjukan, cerita, dan keindahan visual yang menarik, lho Moms.

Jadi, karya seni ini bukan hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga sebuah warisan budaya yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Topeng Malangan juga tidak hanya menghibur penonton dengan pertunjukan visual, tapi juga berperan sebagai pelestarian budaya Indonesia.

Yuk, Moms simak ulasan mengenai Topeng Malangan di bawah ini untuk dikenalkan ke Si Kecil atau untuk melestarikan budaya Indonesia.

Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi budaya dan religiusitas masyarakat Jawa semenjak Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja Gajayana semasa abad ke 8 M. Ini bisa penulis tafsirkan tentang fungsi Candi Badut (arti badut = tontonan) ini menunjukan bahwa saat itu candi berfungsi untuk tontonan “pendidikan yang disampaikan oleh Petinggi / Raja”. Sedangkan Raja Gajayana ini juga mahir menarikan tarian Topeng. Coba anda cermati dari bentuk bangunan candi.

Di Buku Henri Supriyanto, dituliskan Wayang Topeng Malangan mengikuti pola berfikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India. Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa. Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni. Termasuk wayang topeng juga mengambil cerita cerita dari India, seperti kisah kisah Mahabarata dan Ramayana

Dari keterangan diatas bisa diperkuat oleh Almarhum Karimun Bahwa “Kesenian Topeng tidak diperuntukkan acara acara kesenian seperti sekarang ini. Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari acara persembahyangan. Barulah pada masa Raja Erlangga, topeng dikontruksi menjadi kesenian tari. Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), untuk mempermudah riasan, maka para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya”

Saat kekuasaan Kertanegara di Singasari, wayang topeng ceritanya digantikan dengan cerita cerita Panji. Hal ini dapat dipahami ketika Kertanagera waktu itu menginginkan Singasari menjadi kekuasaan yang sangat besar ditanah Jawa. Panji yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria kesatria Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri.

Cerita Panji dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja raja yang pernah berkuasa ditanah Jawa. Cerita cerita Panji yang direkonstruksi oleh Singasari adalah suatu kebutuhan untuk membangun legitimasi kekuasaan Singasari yang mulai berkembang.

Wayang Topeng ini dipakai media komunikasi antara kawulo dan gusti, antara raja dan rakyatnya. Kemampuan untuk menyerap segala sesuatunya dan membumikan dalam nilai kejawaan juga banyak terjadi tatkala Islam dan Jawa mulai bergumul dalam konteks wayang topeng.

Pada saat agama Islam masuk Jawa untuk merebut hati orang Jawa. Proses Islamisasi wayang topeng oleh para wali dengan menampilkan kisah marmoyo sunat adalah sederet cerita bagaimana Islam memproduksi nilai didalamnya. Cerita menak adalah sebagai tanda masuknya Islam ditanah Jawa. Oleh karena itu cerita menakjinggo yang selama ini dominan berkembang adalah cerita menak yang dikonstruk oleh keraton Mataram yang notabene Islam.

Topeng Malang Selatan Sulitnya keraton keraton Islam menaklukkan brang wetan yang didalamnya termasuk bekas keraton Singosari, mengakibatkan wayang topeng cerita menak kurang mendapatkan respon diwilayah ini. Hal lain yang mendorong wayang topeng cerita panji benar benar mendarah daging diwilayah brang wetan dikarenakan kebijakan mengembangkan wayang topeng yang ditanam kuat oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit pertama. Topeng oleh Raden Wijaya dipergunakan sebagai media rekonsiliasi antara Kediri, Singosari dan Majapahit, Dalam merebut kuasa digunakan sebagai pengaruh dominan untuk tegaknya identitas politik.

Pada masa kolonial, daerah daerah perkebunan oleh mandor mandor belanda didirikan kembali kelompok kelompok topeng. Kenapa? Sebab daerah perkebunan adalah daerah daerah yang tingkat ekonominya sangat rendah dan kurang hiburan dan mudah dipengaruhi.

Perkembangan Topeng Malangan hanya menampilkan cerita cerita Panji sebagai relasi historis dengan sejarah Malang sendiri yang panjang, dan puncak perkembangan topeng mulai berkembang lagi saat pelarian pasukan Mataram Diponegoro, yang banyak bersembunyi di Malang Selatan yaitu daerah Panjen (Kepanjen) dan sekitarnya.

Para pelarian diponegoro menggunakan tari topeng digunakan sebagai kedok untuk menyembunyikan jati dirinya salam mendidik rakyat kecil dengan tujuan membangkitkan jiwa kemerdekaan dari ketidak adilan penguasa.

Dari cerita diatas bisa kita lihat secara jelas adanya pengrajin-pengrajin yang masih meproduksi, berada didaerah, misalnya :

Demikian sedikit data yang kebenarannya masih perlu di pertajam lagi, agar kejelasan identitas yang dari : Tari Topeng, Kerajinan Topeng Malang Selatan bisa semakin Hidup.

Diulas oleh : Agung Cahyo Wibowo

Sumber :http://agungkepanjen.blogspot.com/2011/04/topeng-malangan-dan-panji.html

Tari Topeng Malangan Sekarang

Seiring waktu, popularitas tari topeng Malangan kian surut. Namun, kesenian ini masih kerap digelar di kawasan Malang.

Selain sebagai bentuk hiburan, tarian ini rutin dilakukan untuk mempertahankan kelestarian tradisi dan budaya Malang.

Oleh karena itu, Sanggar Asmorobangun di Malang selalu mementaskan tari topeng Malangan setiap Senin Legi dalam kalender Jawa.

Pelaksanaan tarian ini juga menjadi bentuk perwujudan pesan Mbah Karimun, yaitu  untuk tetap menjaga kelestarian kesenian topeng.

Pementasan tari topeng Malangan biasanya didahului dengan beberapa sesi.

Pertama, ada sesi gendang giro, yaitu berupa iringan musik gamelan pertanda dimulainya pertunjukan.

Sesi kedua adalah salam pembuka kepada penonton serta penyampaian sinopsis cerita pertunjukan.

Lalu, sesi terakhir adalah ritual sesajen, yang bertujuan untuk memberikan keselamatan kepada pemain dan penonton sehingga pertunjukan bisa berjalan lancar.

Baca Juga: 5 Lokasi Petik Buah Apel Malang, Agrowisata Asik Bersama Keluarga

Anda mungkin ingin melihat